Membedah Alat Pengukur Gula Darah

January 15, 2008 at 10:55 am

[Kompas, Selasa, 7.10.2003; Oleh Arief B. Witarto] [Download File PDF 179 KB] SEJAK tahun lalu alat pengukur kadar gula darah banyak diiklankan di media massa. Alat tersebut membantu penderita diabetes mellitus (DM) mengontrol kadar gula darahnya. Perkembangan teknologi elektronik dengan tampilan digital membuat alat ini menjadi sangat mungil dan mudah digunakan oleh siapa pun (gambar 1).

NAMUN, tak banyak yang tahu bahwa sebuah molekul biologis, yaitu enzim, menjadi “jantung” alat ini karena enzim itulah yang mengubah gula darah menjadi sinyal elektronik (gambar 2). Bisa dikatakan, alat pengukur gula darah adalah sebuah biosensor.

Jumlah penderita DM di Indonesia memang tinggi. Tahun 2000, dengan penderita DM empat juta orang, Indonesia berada di posisi keenam dunia. Jumlah ini akan meningkat dua kali lipat dalam lima tahun mendatang menurut prediksi Perkumpulan Endrokinologi Indonesia (Perkeni).

DM adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh membuat atau menyuplai hormon bernama insulin. Hormon insulin bertanggung jawab mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Dengan demikian, penderita DM harus mengukur kadar gula darahnya sendiri. Untuk itu, sejak tahun 1950-an sudah dikembangkan alat pengukur kadar gula darah.

Sejarah pengembangan

Gula darah yang berbentuk glukosa pada awalnya diukur secara kimiawi oleh para peneliti dari perusahaan Ames di Indiana, Amerika Serikat (AS). Ernie Adams dan Anton Clemens adalah dua tokoh dalam pengembangan paper strip (potongan kertas) yang dapat berubah warna karena reaksi kimia dengan glukosa. Akan tetapi, produk ini kurang populer karena banyak mengandung kelemahan seperti akurasi rendah, kecepatan pengukuran lambat, serta ukurannya relatif besar.

Pada saat yang hampir bersamaan, seorang ahli fisiologi dan biokimia bernama Leland Clark yang bekerja di RS Anak Cincinnati, AS, mengembangkan alat pengukur berdasarkan metode elektrokimia. Pada awalnya, Clark berhasil mengembangkan elektroda yang prinsipnya sudah dikenalkan pertama kali oleh Galvani 200 tahun lalu, yaitu mengukur kandungan oksigen terlarut dalam sebuah cairan.

Keberhasilan Clark dikarenakan kecerdikannya untuk membungkus elektroda dengan sebuah membran yang hanya melewatkan partikel tertentu. Kemudian, Clark yang bekerja di RS mengetahui bahwa penderita DM perlu mengukur gula darahnya secara teratur.

Sebagai ahli biokimia, Clark juga mengetahui bahwa enzim bernama glucose oxidase (GOD) bereaksi secara spesifik dengan glukosa serta diproduksi secara alamiah oleh jamur Aspergillus niger. Hal ini menginspirasinya untuk membuat alat pengukur kadar gula darah berdasar reaksi biokimia dengan enzim GOD dan kemudian mengukurnya secara elektrokimia.

Molekul glukosa yang dioksidasi oleh enzim GOD menghasilkan elektron yang ditangkap oleh elektroda sehingga kadar glukosa berbanding lurus dengan sinyal elektronik yang diterima (gambar 2).

Sebagaimana elektroda pengukur oksigen yang dikembangkannya pertama kali, sebuah membran yang hanya melewatkan molekul glukosa dibubuhi dengan enzim GOD kemudian dililitkan untuk membungkus elektroda.

Biosensor pertama

Clark unggul dibandingkan dengan para peneliti dari perusahaan Ames dengan menggunakan molekul biologis (enzim GOD) untuk mengenali molekul biologis pula (glukosa). Sebagaimana molekul biologis lainnya, enzim mampu mengenali senyawa yang menjadi targetnya (substrat) secara sangat spesifik. Selain itu, reaksi katalitik oleh enzim bisa berjalan sangat cepat.

Alat pengukur atau sensor yang berbasis pada molekul biologis dikenal dengan istilah biosensor dan biosensor glukosa yang dikembangkan Clark adalah biosensor pertama di dunia.

Biosensor glukosa yang pertama kali dijual kepada masyarakat bernama Glucose Analyzer Model 23 pada tahun 1974 oleh perusahaan elektronik bernama Yellow Spring Instrument (YSI). Perusahaan ini pula yang mengembangkan rangkaian elektronik untuk menjadikan biosensor glukosa buatan Clark ini menjadi peranti yang kompak.

Perkembangan menonjol dalam biosensor glukosa berikutnya dilakukan Anthony Turner dari Universitas Cranfield, Inggris. Sebagaimana dimaklumi, darah mengandung oksigen terlarut di mana oksigen tersebut dapat mempengaruhi reaksi enzim GOD yang bergantung pada oksigen (reaksi oksidasi).

Untuk menanggulanginya, Turner menggunakan senyawa kimia tertentu seperti ferrocyanide sebagai mediator yang menggantikan fungsi oksigen dalam reaksi tersebut. Selain itu, sejak digunakannya semikonduktor, peranti biosensor glukosa pun menjadi makin kecil dan meningkat performannya seperti saat ini dikenal (gambar 1).

Masa depan biosensor

Saat ini berbagai jenis sensor/alat pengukur sudah dikembangkan para peneliti di dunia. Mulai dari sensor berbasis reaksi kimia, perubahan fisika, cahaya, hingga reaksi biologis seperti enzim. Akan tetapi, bila yang diukur adalah molekul biologis, maka biosensor adalah yang paling tepat sampai ada ungkapan, “Biosensor, the analyst?s dreams”.

Berbagai jenis biosensor telah dikembangkan, seperti alat penentu kehamilan yang berdasar pada kerja molekul biologis antibodi dalam mengenali hormon HCG (human chorionic gonadotropin) dalam urin wanita hamil.

Meski demikian, hampir 90 persen pasar dunia biosensor yang bernilai sekiMeski demikian, hampir 90 persen pasar dunia biosensor yang bernilai sekitar 500 juta dollar AS pada 1997 telah dikuasai oleh biosensor glukosa. Tak mengherankan selain sang pelopor, YSI, beberapa perusahaan multinasional besar ikut terjun dalam pengembangan alat pengukur kadar gula darah ini, seperti MediSense/Abbott, Boehringer Mannheim, LifeScan, dan Roche.

Apabila peranti elektronik biosensor glukosa sudah mendapatkan curahan perhatian besar dalam pengembangan alat pengukur kadar gula darah ini, justru “jantung” dari biosensor itu sendiri, yaitu enzim GOD, tidak sedikit pun berubah sejak Clark menggunakannya 50 tahun yang lalu. Selain secara alamiah sudah tersedia dalam jumlah besar, enzim GOD juga sudah stabil dalam bentuk aslinya sampai disebut GOD enzyme, gift from the God.

Walaupun Turner telah mengembangkan mediator untuk mengurangi pengaruh oksigen, sebagaimana dibuktikan oleh para peneliti dari Universitas California tahun 1996, alat pengukur kadar gula darah yang menggunakan enzim GOD dapat memberikan hasil yang berbeda dari individu yang sama. Hal itu terjadi, karena sampel darah dapat mengandung kadar oksigen terlarut yang berlainan, bergantung pada asalnya.

Untuk itu, saat ini ada dua perusahaan biosensor di dunia yang berusaha mengubah penggunaan enzim GOD dengan enzim yang mengatalis reaksi reduksi, sehingga tidak bergantung pada kadar oksigen, yaitu enzim PQQ glucose dehydrogenase (PQQGDH).

Sebuah perusahaan Jerman bekerja sama dengan grup Prof Duine di TU Delft, Belanda, sementara perusahaan lainnya di AS merangkul grup Prof Sode di Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang, di mana penulis pernah bergabung.

Berbeda dengan enzim GOD, enzim PQQGDH memerlukan banyak “campur tangan” manusia, mulai dari produksi massalnya dengan bioteknologi sampai kepada upaya rekayasa protein untuk memperbaiki karakter enzimatiknya bagi aplikasi dalam biosensor.

Setelah melalui penelitian mendalam lebih dari 10 tahun, penggunaan enzim PQQGDH sebagai komponen biosensor glukosa makin menjadi kenyataan. Sekarang, penulis bekerja pada proses produksinya menggunakan metode yang dikenal dengan nama “bertani protein”. [*]

Klik di sini untuk versi asli di Kompas.

Entry filed under: Biosensor, Rekayasa Protein. Tags: .

Bioteknologi, Sebuah Gelombang Ekonomi Baru Membaca Genom Malaria dan Manfaatnya bagi Pengobatan


Categories

January 2008
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  

Blog Stats

  • 135,499 hits